Definisi pendapatan (income), umumnya identik dengan uang, sehingga uanglah yang dikonversi menjadi kebutuhan hidup, baik barang, jasa, atau bahan pangan. Semakin banyak uang, orang semakin merasa aman, karena merasa bisa membeli segala hal dengan alat tukar itu. 
 
Hal itu tidak salah, terutama bagi masyarakat kota yang profesinya kebanyakan bukan di bidang produksi bahan pangan. Namun, bagi mereka yang memiliki kemauan mengolah tanah dan menanam, terlebih jika ia punya lahan sendiri, paradigma di atas bisa diubah atau lebih tepatnya dilengkapi. Jika sebagian bahan pangan untuk kebutuhan sehari-hari bisa dihasilkan sendiri, pada dasarnya, itu pun adalah "income", bahkan dalam bentuk langsung (bukan alat tukar). 
 
Salah satu jenis labu madu ini misalnya, jika dikonversi ke nilai uang, maka nilainya antara 50-60 ribu-an rupiah, karena harga labu madu di pasaran ada pada kisaran 20-25 ribu per- kilo. Cukup besar, bukan? Karena belanja harian saja mungkin di kisaran itu bagi kelompok menengah.
 
Jika dikonversi ke kandungan nutrisi, nilai labu juga tinggi, apalagi jika ditanam secara organik.
 
Jika si labu dikonversi sebagai hadiah buat kerabat atau tetangga, ia bahkan tak bisa diangkai dengan simbol numerik, karena nilainya melampaui angka-angka. 
 
Tetapi, tak jarang, ketika seseorang memanen labu atau hasil tanam lain di kebunnya, ia merasa hal itu tidak terlalu bernilai, kecuali jika ia jual dan mendapatkan uang dari hasil penjualannya. Akibatnya, kita akan temui kasus, di mana petani membuang hasil tanamnya karena harga sedang jatuh atau seseorang berhenti menanami pekarangan kosongnya karena ia sedang punya banyak uang untuk membeli semuanya.
 
Padahal, kalau setiap penanam selalu mengkonversi hasil tanamnya dengan bermacam varian nilai, baik dengan nilai uang, nilai nutrisi/kesehatan, ataupun nilai kekeluargaan/persahabatan, maka ia akan selalu menilainya tinggi, tanpa harus menunggunya terjual. Dan ia akan konsisten menanam untuk "menghidupkan" pekarangannya dan juga jiwanya.
 
(SEKADAR RENUNGAN)